Lima hari setelah Sang Pangeran lahir, Raja Suddhodana
mengadakan upacara pembasuhan kepala dan pemberian nama, sesuai dengan tradisi
India kuno, dengan mengundang para brahmana (brahmin) terpelajar dan terkemuka.
Di antara 108 brahmana yang diundang terdapat delapan brahmana yang terkemuka.
Setelah melihat tanda-tanda kebesaran pada tubuh
Pangeran, 8 di antara mereka yaitu
1. Rāma
2. Dhaja
3. Lakkhanā
4. Jotimanta
5. Subhoja
6. Suyāma
7. Sudatta
8. Kondanna
Mereka memprediksikan dua kemungkinan yaitu bahwa
Pangeran akan menjadi seorang Raja Dunia atau akan menjadi seorang Buddha jika
Ia meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi petapa.
Tetapi Kondañña, salah satu dari kedelapan brahmana
itu, dan yang paling muda, menyatakan dengan memastikan bahwa hanya ada satu
kemungkinan yaitu Pangeran akan menjadi seorang Buddha. Pernyataan Kondañña ini
akhirnya diterima oleh semua brahmana.
Hadir pula pertapa yang datang bernama Asita. Pertapa
Asita tiba-tiba menangis dan setelah itu tersenyum. Ini alasannya:
a. Menangis karena umur pertapa tidak
sempat mendengar ajaran Buddha.
b. Tertawa karena Asita berbahagia
telah bertemu calon Buddha.
Para brahmana terpelajar tersebut juga memberitahu
raja bahwa sang pangeran akan meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi petapa
setelah ia melihat empat penampakan, yaitu
a. orang tua,
b. orang sakit,
c. orang mati,
d. petapa.
Setelah itu, para brahmana memberi-Nya nama Siddhartha
yang berarti “tercapailah
cita-citanya”, dan dengan nama keluarga Gotama. Maka namanya menjadi Siddharta Gotama.
Pada hari ke tujuh setelah melahirkan Pangeran
Siddhattha, Ratu Mahāmāyā wafat, dan adiknya Mahāpajāpatī Gotamī yang juga
isteri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Mahāmāyā sebagai ratu sekaligus
ibu bagi pangeran kecil. Mahāpajāpatī Gotamī merawat Pangeran Siddhattha
seperti merawat putranya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar