Dikisahkan
laki-laki yang pada masa mudanya meninggalkan ayahnya pergi, lama ia tinggal di
negeri-negeri lain selama 50 tahun. Semakin ia menjadi tua, semakin banyak pula
kebutuhannya. Ia mengembara ke segala penjuru untuk mencari sandang dan pangan.
Sementara itu ayahnya merupakan seorang yang kaya raya di kotanya, penghasilan
dan modal-modalnya tersebar di negeri-negeri lain, pedagang dan langganannya
pun luar biasa banyaknya.
Si
anak malang mengembara dari desa ke desa dan menjelajahi banyak negeri dan kota
hingga akhirnya sampailah ia di kota dimana ayahnya tinggal. Sang ayah akhirnya
memperkerjakan anaknya di rumahnya. Hingga suatu kali ada acara. Ketika mereka
semua sudah berkumpul, kemudian ia mengakuinya dan sekarang seluruh harta
kekayaan yang saya miliki, semuanya menjadi hak putera saya dan semua
pengeluaran-pengeluaran dan penerimaan yang terdahulu seluruhnya sudah
diketahui oleh anak ini”.
Note: Ayah anak itu ibarat Buddha
Harta
kekayaan adalah Dhamma
Anaknya
diibaratkan mahkluk hidup
Nilai moral dari cerita
di atas :
1. Dhamma Buddha harus dipraktekan (Ehipassiko)
untuk mencapai kebahagiaan.
2. Setiap orang yang menjalankan Dhamma memperoleh hasil yang berbeda-beda
tergantung kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta usahanya.
3. Ada 2 cara Buddha mengajar Dhamma sesuai dengan kemampuan muridnya,
yaitu:
a. Murid pandai: mengajar secara terperinci, jelas, dan rumit.
b. Murid yang kurang pandai: menggunakan contoh dan bahasa yang sederhana.
4. Jadilah pewaris Dhamma yang akan selalu menjalankannya dalam kehidupan
sehari-hari.
5. Jadilah pewaris Dhamma bukan pewaris kekayaan duniawi (Majjhima Nikaya 1:12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar